Refleksi Moralitas Komunitas Pendidik

Refleksi Moralitas Komunitas Pendidik



13199506831651045104
Kusuka style dan senyummu…ceriakanlah anak-anak didikmu
Seseorang mengirim pesan singkat, menghentak ucapannya: “Dosen tidak manusiawi, sok pintar, egois, sok penting, sok berkuasa, semena-mena”. Pengirim SMS ini tak menyertakan identitas secuilpun tetapi hipotesisku (standard error=0,01), dia adalah mahasiswa saya. Mulanya, saya mengernyitkan dahi dus kaget ringan. Sekonyong-konyong memaksaku berpikir alot, merenung dan termenung-menung.
Finally… !. Tiada kuberpusing-pusing dengan not identity pengirim SMS ini. Sekarang, yang kupedulikan adalah kekuatan pesan itu yang membangunkanku dari keterlenaan dan juga menggamitku dari responsibilitas yang telah sekian lama dibebankan di pundakku. Kutahu pasti profesi seperti ini berhadapan dengan risiko “sukses-gagal” fifty-fifty dalam membentuk karakter manusia yang bernama mahasiswa. Bagaimanapun dan apapun itu, mereka adalah sandaran asa akan rakyat dan negeri ini. Mereka bukanlah mesin, mereka adalah jiwa yang tak segampang mengubahnya seperti sebuah bahan dasar yang akan disulap sebuah benda berharga semisal emas, intan dan permata.
Jika dianalogikan: Saya lebih memilih malpraktik atau salah dalam memberi resep obat dari padasaya keliru dalam memberikan pengajaran. Sebab, jika saya salah memberi resep maka hanya satu orang jualah yang akan merasakan penderitaan. Namun jika saya keliru dalam pengajaran maka kesalahan itu akan terbawa-bawa secara genetik dan sosiologik. Hingga sang mahasiswa itu menjadi alumnus kelak, dan melahirkan anak, maka diapun akan mengajarkan salah kepada anak-anaknya atas pengetahuan yang telah kuberikan padanya. Singkatnya, memberi pelajaran yang salah maka tujuh turunan akan merasakan deritanya.
13199504791337599446
Mister, gak perlu nunjuk-nunjuk gitu. Di hadapanmu itu juga manusia.
Katakanlah dengan lantang bahwa mahasiswa itu adalah anak-anak kita. Berjanjilah untuk mengajari mereka dengan sepenuh kasih sayang. Jangan biarkan mereka berkata: “Ukh dosen A atau guru B hanya pintar untuk dirinya sendiri”. Ehem..ehem….sebenarnya pintar itu belum ada indikator obyektifnya sampai kini. Mungkin mahasiswa itu ingin berkata seperti ini: “Saya tidak suka dosen itu”. Bila bahasa nurani mahasiswa mengucapkan dislike, maka remuk-redamlah hari-hari pembelajaran kita. Sebab ilmu pengetahuan telah ter-grendel oleh barrier psikologik. Di antara kita dan mereka.
Serupa dari berbagai rupa itulah celotehan mahasiswa yang optimal diteriakkan lewat pesan. Itupun bukti bahwa mahasiswa kita telah terang benderang disusuri rasa kecewa atas cara-cara kita selama ini berinteraksi dengannya. Teriakan ini adalah pertanda kerinduan untuk sebuah perhatian dan undangan untuk menyejukkan jiawa-jiwa mereka yang bergelit dengan silih bergantinya tugas-tugas akademik yang membuat mereka stres bahkan mungkin depresif.
1319951562491378290
Oh tidak. Kutakberharap engkau seperti ini ananda. Cukup sekali ini engkau sters dengan beratnya beban akademik yang engkau rasakan
Ah, kian kuselami “dosa-dosaku” dan berjuta tanya: “Mengapa kubelum sanggup menghadirkan rasa senang hati setiap saat pada mereka?”.  Belumkah kutersadar bahwa sejak kecil, mereka tiada pernah dianggap, mereka tiada diberikan bilik-bilik untuk memperbanyak tanya dan menggumamkan rasa kritisnya kepada “orang-orang tua” entah itu ayah-ibunya, guru-gurunya ataupun kakak-kakaknya yang telah dewasa. Mengapa kuturut memperpanjang pengekangan dan derita mereka. Oh tidak. Bicaralah sayang di setiap kelasku, kemukakanlah apa saja yang membelenggu pikiran dan hatimu bertahun-tahun lamanya. Jika belum cukup,teriakkanlah dalam kelas agar sengsaranya jiwamu dapat terapresiasi pada tempat yang menurutku bukan alamat palsu. Di sinilah tempatnya secara ilmiah engkau wajib aumkan.
13199522301242515355

Di antara kita tiada yang lebih. Kita adalah kawan, mitra dan sahabat
Ananda sekalian. Berilah saya kesempatan sekali lagi dan juga kepada pendidik lainnya di Indonesiaku ini, untuk berbenah dan menutupi noda-noda kesalahan masa lalu kami selama bertemu denganmu di area perguruan tinggi.
Sungguh kami akan berbagi denganmu. Celakalah kami jika masih mempertahankan teknik-teknik klasik yang memberangus kreatifitasmu. Kami akan sangat menyesal jika kalian sebagai mahasiswa yang akrab dititeli agent of change yang tak mampu mengubah negeri ini. Kalian adalah kandidat pemimpin besar, pemegang hak warisan di negeri ini. Sebab tak lama lagi, kami akan renta dan hanya berharap kami tenang-tenang menjalani sisa-sisa hidup kami.
Kerinduanku untuk beriteraksi denganmu dengan cinta sepenuh hati, membimbingmu seluruh jiwa nan lembut padamu, takkan kubiarkan lagi dirimu hanyut dalam lembah kemiskinan ilmu disebabkan ulah-ulahku selama ini dan biarlah suatu saat engkau akan berkata seperti ini
13199530501440354104
Kuucapkan segala ini sebagai renungan, intropeksi diri, dan sebagai refleksi. Refleksi diri ini sungguh untuk diriku. Namun jika ada seseorang yang tersentuh dengan bait-bait ini, kusungguh berterima kasih kepada Tuhan. Sebab baru kusadari, perguruan tinggi adalah pabrik manusia-manusia yang kelak akan benar-benar menjadi pemimpin dan kepada mereka kita bertumpu hendak ke mana mereka membawa negeri ini.
Maafkanlah atas segalanya
* * *
Ilustrasi gambar, seluruhnya dari google
1319953253965221690

0 komentar:

Posting Komentar