Dokter Indonesia Lebih Baik dari Korsel


1315711056183487030
Ilustrasi/Admin (shutterstock)
Mukaddimah
Bertahun-tahun kuterlena, memuji keramahan bangsaku. Kupikir satu-satunya bangsa teramah di dunia hanyalah Indonesiaku. Indonesia ramah tapi terkesan pemarah. Ternyata bangsa lain lebih ramah, dialah Korea Selatan, ramah dan tidak mudah marah. Wajah orientalis, kulit putih-mulus, bentuk bibir yang memerah merekah bak delima layaknya pesinetron Endless Love. Terpukau daku menatapnya apatah lagi dengan wangi tubuh yang ehem-ehem.
Sisi lain, mereka layak maju. Pekerja keras dan disiplin, working till the end walau mereka digelari manusia termalas, waktu mereka terkuras di internet sehabis kerja.
Kubaru tersadar, pemisahan Korea Selatan-Korea Utara bukan semata-mata kesalahpahaman politik dan kepercayaan tetapi negara itu “sengaja” dipisahkan agar saling bersaing. Korsel dengan teknologi populernya pengikut zamaniah, sedang Korut dengan teknologi artileri perang. Seol lumayan takut dengan Pyongyang yang bermotto Damai dengan Peluru.
Industri Seks
Penulis menyoroti satu sisi bidang kehidupan metro Korsel: Industri seks. Tiada kusangka ketika tim kami memasuki zona perdagangan seks, siapa sangka jika wanita yang berbusana rapi, sopan, ramah, lembut, cantik, memesona adalah seorang pelaku seks internasional. Wanita ini dikhususkan untuk konsumsi pejabat-perjabat internasional. Ada juga ternyata order dari perwakilan negara sahabat dengan bidang per-syahwatan-an ini. Benarkah informasi para pekerja seks yang cantik-cantik itu?.
Sebagai worker Yayasan Riset Informasi Kesehatan se-Dunia, saya salut dengan perangai para praktisi seks kelas dunia di sini. Salut dengan “sadar sehat” (maaf, bukan salut atas profesi mereka). Betapa tidak, ketika deal untuk melakukan hubungan intim (free-sex), wanita yang mirip-mirip Shi-Hyang menyuruhku untuk mandi total, membersihkan sekujur tubuh terutama genitalia masculina (alat kelamin laki-laki). Oopps, jangan salah duga. Aktifitas saya berakhir pada proses membersihkan tubuh. Hahaha.. ngerrres.com
Jika tulisan saya ini tak etis, dan tak layak, utamanya warga Kompasiana pada umumnya dan Cengengesan Family pada khususnya. Saya mohon maaf. Sayapun siap men-delete-nya jika melanggar frame etika dan issu gender.
Penulis sangat berambisi mengulasnya dari sisi medis dan personal hygiene. Tiada niat merendahkan wanita-wanita Korsel apalagi menurut mereka kita adalah “serumpun” dengan mereka.
* * *
Tak tanggung-tanggung pekerja seks high-class itu masuk kamar mandi juga. Saya dengan bahasa Inggris pas-pasan berkata: “NO”. Setelah mandi, saya utarakan misiku. Rupanya dia tertunduk, wow gitu cara “marahnya” orang Korea yah?.
Alhamdulillah, ia memahami misi riset internasional ini, semata-mata untuk mengeksplorasi perilaku bangsa Asia dalam prevensi HIV/AIDS. Sebetulnya, saya dan korlap dengan susah payah memperoleh informasi tentang perilaku seks antara customer dengan sex provider. Pria ternyata dilayani dengan motto health for all. Dimandikan, dikeramas, digosok sekujur tubuh tak terkecuali alat vital. Selanjutnya, cinta satu malampun dilakonkan pasangan kontra suami istri ini.
Di Seol, pasca orgasmes masih dilakukan layanan, tidak langsung ngacir seperti para hidung belang di negara kita. PSK mereka telah dibekali pengetahuan yang luar biasa tentang HIV mulai stadium I, II, III dan seterusnya. Peran mereka ganda, ya PSK, ya “konselor”.
Oh iya, riset sebelumnya tentang hidung belang yang ada di negeri kita sekelas Dolly dan Kramtung (keduanya telah bubar), selesai “permainan”, yah pakai baju, celana, sisiran dan cabut. Hahahaha…
Duniaku memang bergesekan dengan zona hitam, zona industri seksual. Istilah populer di Thailand adalah: “Kombinasi Segi Tiga: Industri, Seks dan Uang”. Dan telah pernah dibukukan oleh seorang penulis Indonesia.
Lantas apa yang menarik industri esek-esek di Korea buat saya?. Dengan pengelolaan industri seks Korsel yang sangat “profesional”,  saya tak akan pernah percaya bahwa magma dan sumbu penularan HIV/AIDS berasal dari negara ini.
Dokter Indonesia Lebih Baik
Rela tak rela, sejak kedokteran di STOVIA sampai sekolah moderen kedokteran di Indonesia masih berkiblat Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini menjadi pembeda dengan dokter-dokter Korsel, mereka lebih berpihak ke potensi lokal dan mencoba mendesain sendiri teknik pembelajaran berdasarkan tren penyakit-penyakit di lingkungan mereka.
Dokter-dokter Indonesia sama “standardisasi” yang berlaku di Amerika Serikat dan Eropa (terutama Jerman dan Belanda), inilah yang membuat dokter Indonesia lebih baik dari Korsel. Dokter Indonesia hampir bisa dipastikan menjadi tim di berbagai negara karena standar pengetahuan, skill dan praktik yang hampir sama dengan kebanyakan negara di benua Amerika, Eropa bahkan Australia.
Sedangkan dokter-dokter Korsel lebih memilih dan menekankan penyakit-penyakit berbasis nasional ketimbang epidemi internasional. Walaupun mereka juga berpegang pada text-book import namun mereka memiliki text-book tersendiri dan atau memodifikasinya serta diabsorbsinya sesuai pola penyebaran penyakit individual dan masyarakat. Merekapun mahir tentang biomedis namun dokter-dokter mereka cenderung kepada kedokteran pencegahan. Penunjang mereka adalah pemberdayaan obat-obat lokal dan tradisional. Jadi sangat pantaslah jika gingseng mereka go-international.
Sementara kita di Indonesia, begitu melimpahnya akar-akaran, dedaunan, tetumbuhan namun kita tak pernah berpikir bahwa itu adalah aset yang sangat bernilai jika difokus-kelolakan sebagai model dan mekanisme pencegahan ataupun pengobatan rakyat Indonesia.
Melalui tulisan opini ini maka sebaiknya diknas dan kemenkes mulai berpikir ulang untuk memasukkan pembelajaran tentang obat tradisional asli Indonesia dalam mata pelajaran ORKES atau Pendidikan Jasmani agar pemahaman tentang tanaman dan obat keluarga benar-benar dipahami oleh anak-anak kita sejak dini.
Indonesia memang harus banyak belajar dari negara ini, di mana pelayanan medis mereka berdampingan dengan obat-obat tradisional mereka. Bahkan diwajibkan menggunakan obat tradisional saat penyembuhan pasien dan obat, ini adalah industri kesehatan dan kedokteran. Mereka berprinsip tak perlu dokter mereka setenar Jerman, Singapura dan Amerika, yang mereka kedepankan adalah obat tradisional mereka, layaknya Gingseng. Negara kita beda, baik dokternya maupun obat asli (tradisional,red) sama majunya dan sama mundurnya. Apatah lagi setelah perginya mendiang Prof. Hembing, “Bapak Obat Tradisional Indonesia”
Penutup
Seorang doktor sekaligus seorang dokter di Universitas Indonesia yang sangat aktif di Persatuan Keluarga Berencana Indonesia pernah berkata kepada saya: “Industri seks takkan mungkin dilenyapkan dari dunia, ia mengikuti peradaban manusia. Kita hanya bisa mengendalikannya”.
Beliau kembali melanjutkan nasehatnya bahwa seorang dokter yang baik jika ia bisa hidup dari orang yang sehat. Jika seorang dokter hanya semata menghidupi dirinya dan mata pencahariannya dari orang sakit maka dokter tersebut dapat dikatakan sebagai dokter yang berbahagia dari penderitaan orang lain.
Terima kasih Admin telah memuat tulisan saya.
Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar